Minggu, 09 Agustus 2015

SOCCERIOR : Ketika Klub-Klub Inggris Merasa Sepi di Tengah Keramaian.


Premier League saat ini adalah liga paling kondang di dunia. Paling ramai, paling seru, dan paling dinantikan fans. Ternyata, banyak manajer dan pemain yang merasa suasana di stadion tidak seperti yang terlihat di televisi.
__________________________________________________________________________________________________________

Paling Berisik : Suasan di salah satu tribun di stadion Old Trafford musim lalu.(bbc.co.uk)

Kultur sepak bola di Inggris lahir dari kalangan kelas pekerja. Seusai sibuk sepekan bekerja keras membanting tulang, setiap akhir pekan sudah menjadi kewajiban hadir di stadion untuk mendukung tim idola.
Stadionlah sarana untuk melepas penat lewat sorak-sorai dan sumpah serampah. Atmosfer stadion yang riuh dan ribuan penonton yang berdesakan di tribun berdiri menjdai kenikmatan tersendiri. Faktor loyalitas suporter itulah yang membuat konglomerat Amerika Serikat, Rupert Murdoch lewat BSkyB (sekarang Sky) mulai mengapitalisasi sepak bola Inggris dan mengubahnya menjadi industri bisnis yang menggiurkan lewat Premier League pada 1992.
BSkyB adalah televisi berbayar. Mereka sukses mencuci otak fans bahwa mendukung tim idola tak mesti hadir di stadion. Lewat televisi, sepak bola bisa dinikmati.

Saat menayangkan pertandingan, BSkyB mengatur sedemikian rupa agar fans bisa merasakan atmosfer stadion. Mulai mengatur letak mikrofon untuk memperdengarkan suara fans di stadion, memasang banyak kamera, dan lain-lain. Kata Dave Hill, direktur Sky Sports, kepada BBC, "Olahraga sebagai drama dan olahraga sebagai opera sabun. Hal itulah yang ingin orang saksikan di televisi."

Harga tiket pertandingan yang semakin mahal membuat fans lokal memilih menonton lewat TV. Alhasil, fans-fans yang hadir memenuhi stadion biasanya adalah para turis yang bukan dari Inggris. Mereka lazim disebut plastic fans alias fans yang tidak berasal dari kota tersebut. Plastic fans itu sering ditemui di tim-tim besar seperti Liverpool, Chelsea, Arsenal, dan Manchester United.
Manajer Chelsea Jose Mourinho sempat mengeluh tentang atmosfer di Stamford Bridge yang sepi, meski kursi stadion terisi penuh. Fans seolah hanya duduk manis tanpa bersorak memberikan dukungan. Mereka hanya menonton.
Kelompok fans garis keras, Chelsea Headhunters, manuding, yang mesti menjadi kambing hitam adalah manajemen Chelsea yang lebih pro turis ketimbang fans lokal, dengan menaikkan harga tiket. Keluhan Mourinho itu juga pernah disampaikan Andre Villas-Boas saat menangani Tottenham Hotspur. "Suasana di White Hart Lane sungguh menyedihkan," katanya pada Daily Mail.

Arsenal lebih parah. Ada sebuah guyonan, Emirates Stadium sering disindir lebih layak sebagai perpustakaan ketimbang stadion. Manajer Arsenal Arsene Wenger mengakui kurangnya tekanan fans kepada lawan saat berlaga di Emirates. Dia merasa tim-tim asal utara Inggris lebih berisik ketimbang tim-tim dari bagian selatan, khususnya London.
"Saat datang ke utara, mereka terus melakukan tekanan dan membuat wasit gelisah. Anda tahu, saat bertandang ke Sunderland, gemuruh penonton terjadi setiap bola kami mainkan. Itu juga terjadi saat Anda bertandang ke Everton. Sementara di London, para penonton lebih rileks," keluh Wenger.

Dalam survei kelompok fans terbesar, Black Scarf Movement, terhadap 17.000 fans Arsenal, sebanyak 96 persen fans setuju atmosfer di Emirates amat menyedihkan. "Usaha untuk meningkatkan atmosfer hanya kadang-kadang dilakukan. Kami yakin, suasana hening di dalam stadion tak bagus untuk sepak bola. Pertandingan adalah tentang passion, antusiasme, dan rasa kesatuan di antara para suporter," kata Davis O'Leary, juru bicara grup fans. Dia mengusulkan dibuat tribun khusus untuk menyanyi.
Usulan tersebut pernah diterapkan di Old Trafford, kandang Manchester United, pada 2013. Namun, itu tak berjalan lagi karena jatah 1.500 kursi di tribun J dan K harus diberikan untuk suporter tamu. Mantan bek United Phil Neville sempat mengkritisi penghapusan tersebut. "Di dalam dunia yang ideal, Anda ingin seluruh stadion berisi 75.000 orang menyanyi. Ayolah, mari kita realistis," ujar Neville kepada Sky Sports.
"Jika area menyanyi bisa permanen dibangun di Old Trafford, hal itu bisa menjadi katalisator untuk area-area lainnya di seluruh stadion," tambahnya lagi.

Urusan suara di stadion itu disikapi menajemen klub secara serius. Dikutip surat kabar Manchester Evening News, pada 2013, Sir Alex Ferguson bahkan memanggil ahli penata suara agar tata ruang stadion membuat nyanyian suporter terasa lebih kencang.
Hasilnya cukup efektif. Setahun kemudian, saat Press Association, kantor berita Inggris, mengukur tingkat kebisingan penonton, Old Trafford menjadi stadion paling berisik dengan angka 84 desibel. Metode pengukuran dilakukan pada 60 detik setelah kick-off, bukan saat gol terjadi.

Andaikan ditarik ke luar Inggris, kebisingan itu seolah seperti berbisik jika dibandingkan dengan Schalke 04 (121 desibel) dan Besiktas (132 desibel) yang hampir menyamai suara pesawat jet.




SUMBER : Jawa Pos, 7 Agustus 2015.

1 komentar:

  1. hehe..di indonesia lebih hebat dong bukan cuman suara doang..supporter rusuh ribut dan bunuh2an sudah biaso dan konon desibel stadion indonesia 1500 db

    BalasHapus