Kamis, 05 November 2015

HUMANIS: Pak Raden dan Dunia Anak...

Penulis: Aris Setiawan | penulis, pengajar di ISI Solo.

Nyil Unyil-Unyil Usro, nang kali ngumbah popok. Popoke karek sitok, diumbah karo ndodok... 

Masyarakat Jawa Timur era 80-90-an tentu familier dengan lagu tersebut. Lagu pelesetan itu terilhami tontonan serial televisi Si Unyil yang ditayangkan setiap Minggu pukul 09.30 WIB. Di masanya, Si Unyil menjadi acara favorit anak-anak. Si Unyil tak semata permainan atau atraksi boneka yang menghibur dan lucu, namun juga mampu mengisi imajinasi dunia anak berwujud kisah positif tentang kehidupan.
Keberhasilan Si Unyil tak dapat dilepaskan dari sosok Suyadi, yang meninggal pada hari Sabtu, 31/10, kemarin. Dalam usia 82 tahun. Ia biasa dikenal dengan nama Pak Raden. Berkumis tebal, membawa tongkat, memakai belangkon, mengenakan jarit, dan beskap khas kaum aristokrat Jawa. Ambitus suaranya keras dan gandhem, membuatnya cocok sebagai dalang dan pendongeng ulung. Pak Raden dan Unyil menjadi monumen penting dalam jejak perjalanan dunia anak-anak Indonesia. Dunia di mana anak-anak dapat bermain dengan sebayanya, bernyanyi, mendongeng, tertawa polos dan lugu, apa adanya tanpa dibuat-buat. Dunia yang mulai hilang dan sulit dijumpai di masa kini.


UNYIL DAN ORDE BARU.

Kita dapat menelisik sejarah awal kemunculan Si Unyil lewat tulisan Nugraha Pratama Adhi dalam Ironi Pak Raden (2012). Pada 1970, Direktur Produksi Film Negara Gufron Dwipayana mengkritik tayangan televisi, terutama film anak-anak, yang banyak diimpor dari luar negeri. Ia ingin membuat program acara anak-anak yang diproduksi dan disutradarai orang dalam negeri. Lalu, dikontaklah Suyadi, yang kemudian menciptakan boneka Unyil, Usro, Ucrit, Pak Ogah, dan lainnya.

Unyil adalah boneka yang menggambarkan citra anak desa atau kampung, berpeci dan berselempang sarung. Lakon yang ditampilkan Si Unyil pun tak muluk, berkisah tentang kesederhanaan, kesantunan, dan persahabatan. Unyil mampu menyuguhkan potret citra kehidupan anak Indonesia dengan sesungguhnya. Tak berapa lama, sosok Unyil menjadi inspirasi bagi anak-anak Indonesia. Boneka itu mampu memberikan katalisator di mana emosi anak-anak Indonesia turut terlibat. Melihat Unyil seolah melihat diri mereka sendiri.
Hingga 90-an serial Si Unyil menjadi tontonan favorit. Semua boneka dalam acara itu terlihat mampu menyatu menjadi sajian yang unik dan berkualitas. Kita bisa melihat Indonesia lewat tayangan tersebut. Semasa Orde Baru (Orba), tayangan Si Unyil dimanfaatkan sebagai sebuah etalase percontohan gaya hidup manusia Indonesia yang ideal. Unyil tinggal di kampung bernama Suka Maju yang asri, damai, hijau penuh pepohonan, dan dikepalai Pak Lurah yang bijak dan baik hati. Banyak adegan yang dilakukan di poskamling, sungai, kebun, atau simbol-simbol kampung lainnya.

Desa itu juga menunjukkan pluralitas negeri. Sebab, para bonekanya memiliki latar belakang suku yang berbeda. Pak Raden adalah kalangan aristokrat Jawa yang feodal. Bang Togar dari Medan, Meiliani keturunan Tionghoa, dan Bu Bariah keturunan Jawa-Madura. Tayangan Si Unyil mempresentasikan semangat kerukunan dan kebhinekaan negeri. Terlebih, persoalan dan konflik yang muncul selalu dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat, gaya khas Orba.
Bahkan, secara gamblang, Orde Baru telah menggunakan tayangan Si Unyil sebagai ruang penyuluhan dan penerangan bagi masyarakat. Program-program penting pemerintah kala itu dijadikan lakon dan judul utama seperti ABRI Masuk Desa, Buta Aksara, Hardiknas, Cinta Lingkungan, Demam Berdarah, Keluarga Berencana, dan Operasi Bersih. Begitu hebatnya Si Unyil, jargon-jargon Orba dapat diterima masyarakat dengan baik seperti Aku Anak Sehat, Dua Anak Cukup, Gugur Gunung, Toleransi, dan Jumat Bersih. Unyil dan boneka lain menjadi strategi jitu Orde Baru dalam melakukan indoktrinasi.

Dari tayangan itu, kita dapat melihat sosok Pak Raden yang entah sengaja atau tidak, ditempatkan sebagai antitesis dari kisah romantis akan kehidupan warga kampung. Pak Raden pada konteks ini seolah menjadi "budaya tandingan" atas kemapanan yang ada. Ia adalah seorang "raden", keturunan darah biru yang pelit dan feodal. Sebuah kisah yang berusaha mendekonstruksikan imaji muluk tentang narasi keadiluhungan dan kesantunan (etika-moralitas) manusia Jawa bergelar bangsawan.
Saya menduga, munculnya Pak Raden di film Si Unyil merupakan upaya kritik terhadap pemerintah. Dalam film itu, Pak Raden adalah satu-satunya bangsawan atau penguasa yang tinggal di kampung majemuk. Namun, ia justru semena-mena, menjadi sosok antagonis, menimbulkan bibit permusuhan, tidak suka berbagi, dan jahat. Dengan kata lain, bukankah hal itu menjadi penggambaran atas diri penguasa Orde Baru?
Walaupun keturunan Jawa, Pak Raden menyukai budaya Barat. Terbukti, keponakannya yang bernama Tini justru dipanggilnya dengan Tinneke agar terlihat kebarat-baratan. Sosok unik Pak Raden itulah yang kemudian mengilhami Suyadi memerankannya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Berbeda dengan film Si Unyil, sosok Pak Raden dalam kehidupan nyata justru humoris, ceria, baik hati, dan dekat dengan anak-anak. Suyadi membalik persepsi masyarakat tentang sosok aristokrat Jawa yang feodal di serial Si Unyil menjadi bangsawan yang humble. Bahkan, ia menjadi pendongeng yang ulung. Saat mendongeng, Pak Raden selalu menggunakan gambar untuk ilustrasi. Dengan demikian, ia juga seorang animator yang hebat. Anak-anak terbuai dengan kekuatan dongeng-dongengnya. Banyak yang menjulukinya sebagai Bapak Dongeng Indonesia. Suyadi terus mendongeng hingga menjelang ajal menjemput.

Dongen menjadi muara di mana imajinasi anak dibangun dan dikekalkan. Dongeng, bagi Suyadi, tidak semata melukiskan kisah-kisah kehidupan, namun juga membentuk dan menempa karakter anak. Dongeng itu mengantarkan anak ke peraduan tidur, menjelma dalam mimpi, dan terlukis dalam kepribadian. Si Unyil kemudian terlihat hanya menjadi nukilan kecil dari misi besar yang digulirkan Suyadi.
Lewat Pak Raden, Suyadi berupaya mengembalikan dunia anak-anak pada kodrat dan habitatnya. Sekaligus, sebagai wacana kritik dan simbol perlawanan terhadap dominasi budaya baru yang menempatkan anak-anak hanya sebatas objek, bukan lagi subjek. Tak ada lagi kisah-kisah persahabatan layaknya dalam serial Si Unyil. Tak ada lagi dongeng-dongeng bermutu yang membangun imajinasi dan mimpi.



Selamat jalan, Pak Raden....



SUMBER: Jawa Pos, 1 November 2015. | Gambar: gambaryance.deviantart.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar