Jumat, 20 Maret 2015

SADURAN : Akik dan Jebakan Monkey Business







Alkisah, di sebuah desa, ada seorang kaya raya yang mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp 50 ribu per ekor. Padahal, monyet di sana sama sekali tidak berharga karena jumlahnya sangat banyak dan kerap dianggap sebagai hama pemakan tanaman buah-buahan. Para penduduk desa yang menyadari banyaknya monyet di sekitar desa pun lantas mulai masuk hutan dan menangkapnya satu per satu.
Kemudian si orang kaya membeli ribuan ekor monyet itu dengan harga Rp 50 ribu. Karena penangkapan secara besar-besaran, akhirnya monyet-monyet semakin sulit dicari. Penduduk desa pun menghentikan usahanya untuk menangkapi monyet-monyet tersebut. Maka, si orang kaya pun sekali lagi kembali mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp 100 ribu per ekor. Tentu saja hal itu memberikan semangat dan "angin segar" bagi penduduk desa untuk kemudian memulai lagi menangkapi monyet.

Tidak berapa lama, jumlah monyet pun semakin sedikit dari hari ke hari dan semakin sulit dicari. Kemudian, penduduk kembali ke aktivitas seperti biasanya, yaitu bertani. Karena monyet kini telah langka, harga monyet pun meroket naik hingga Rp 150 ribu per ekor. Tetapi, tetap saja monyet sudah sangat sulit dicari. Sekali lagi, si orang kaya mengumumkan kepada penduduk desa bahwa dia akan membeli monyet dengan harga Rp 500 ribu per ekor.
Namun, karena si orang kaya harus pergi ke kota karena urusan bisnis, asisten pribadinya menggantikan sementara atas namanya. Tanpa kehadiran si orang kaya, si asisten pun berkata kepada para penduduk desa, "Lihatlah monyet-monyet di kurungan besar yang dikumpulkan si orang kaya itu. Saya akan menjual monyet-monyet tersebut kepada kalian dengan harga Rp 350 ribu per ekor. Saat si orang kaya kembali, kalian bisa menjualnya kembali kepada si orang kaya dengan harga Rp 500 ribu. Bagaimana?"

Akhirnya penduduk desa pun mengumpulkan uang simpanan mereka dan membeli seluruh monyet di kurungan. Namun ternyata, penduduk desa tidak pernah lagi melihat si orang kaya maupun si asisten di desa itu. Penduduk desa akhirnya hanya bisa meringis karena sudah kehilangan cukup banyak uang karena jebakan yang dipasang mafia perdagangan monyet. Akhirnya fenomena tersebut dikenal orang sebagai Monkey Business. Masyarakat desa akhirnya terjebak dan terperangkap dalam Monkey Business.


FENOMENA AKIK

Fenomena itu pernah kita alami dengan tanaman aglonema, pohon anthurium, dan ikan louhan. Sama dengan semua barang yang kita beli, tetapi bukan karena kita membutuhkannya. Demikian pula dalam demam batu akik yang terjadi belakangan ini, berpotensi muncul jebakan monkey business. Pada zaman kejayaannya, tanaman dan ikan itu memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Bahkan, ada yang mencapai Rp 2 miliar untuk jenis anthurium jemani. Padahal, di luar sana, harga anthurium tidak semahal itu. Rerata hanya puluhan dolar, sesuailah dengan value of money sebuah objek hobi.

Di Indonesia, harganya sungguh menjadi tidak rasional. Pengusaha nursery di luar negeri bahkan terkaget-kaget melihat wisatawan Indonesia yang memborong anthurium berapa pun harga tanaman dibuka. Ada semacam penggiringan opini untuk menaikkan harga pasar. Tetapi, naiknya tren karena penggiringan alias pencitraan tidak akan berlangsung lama. Tren ikan louhan, aglonema, dan anthurium hanya berlangsung dua tahunan. Kini harga ketiga item itu pada batas kewajaran.

Monkey business adalah sebuah permainan yang diawali satu atau beberapa pihak pemodal besar yang mendesain agar suatu komoditas bernilai tertentu. Perlahan namun pasti, komoditas tersebut bakal mempunyai nilai yang terus bertambah, kendati komoditas itu tidak memiliki manfaat yang jelas serta ilmiah. Kemudian, dengan suatu cara, para pemodal akan mendapat keuntungan karena telah menyusun skenario. Ketika barang itu mencapai puncak booming, mereka melepas stok yang disiapkan sejak lama. Setelah itu, karena terlalu banyak suplai di pasaran dan permintaan yang tidak sebanding, perlahan harga barang tersebut otomatis turun mengikuti harga yang wajar.

Batu bacan, batu giok Aceh, bio solar, serta batu mulia lain yang harganya sangat fantastis bukan tidak mungkin terkena jebakan monkey business tersebut. Memang, batu mulia termasuk un-renewable resources(SDA tidak terbarukan) yang sangat berbeda dengan fenomena anthurium, aglonema, dan ikan louhan(renewable resources). Namun, jika tidak berhati-hati delam melangkah, bukan tidak mungkin kita semua akan terjebak dalam lingkaran setan monkey business. Maklum, kondisi masyarakat kita yang sering latah akan dimanfaatkan oleh para (mafia) pebisnis untuk meningkatkan nilai komoditas.
Terlebih, dalam hal akik, tidak terdapat manfaat ekonomis nyata yang dapat diasosiasikan dengan batu alam tersebut. Memang, bagi sebagian kalangan, kepemilikan akaik memberikan manfaat berupa kenikmatan atau utilitas subjektif. Kanikmatan yang diperoleh seseorang dari memiliki atau menggunakan sebuah cincin akik akan memberikan nilai subjektif pada batu akik, tetapi bukan nilai intrinsik yang objektif.
Itulah fenomena emosional yang akan menggiring orang ke arah bisnis yang irasional dan ujungnya terkena jebakan monkey business yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok.

Sejarah sudah membuktikan, sesuatu yang lahir dari pencitraan atau penggiringan opini akan bertahan sesaat saja. Selanjutnya, warna atau nilai aslinya akan memudar dan dengan mudah terbaca. Karena itu, masyarakat pecinta dan pelestari batu akik harus rasional dalam memandang booming akik ini dalam koridor yang sehat. Dengan cara pandang dan paradigma semacam itu, kita justru akan menemukan harga standar yang sesungguhnya dari sebua batu permata/mulia. Yakni, sebuah harga riil batu mulia yang tercipta karena mekanisme pasar yang wajar, sehat, serta proporsional.


SUMBER : Jawa Pos, terbitan tgl 12 Maret 2015, penulis : Susidarto, pecinta sekaligus pelestari batu mulia (susidarto@hotmail.com), sumber gambar ilustrasi : dreamstime.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar