James William Sidis.(en.wikipedia.org)
Perkara bahasa tak ada yang mempu menandingi Nabi Sulaiman. Nabi yang merupakan keturunan Nabi Daud ini mampu menguasai semua bahasa manusia di antara bangsa-bangsa yang ada di zamannya. Istrinya pun mencapai tujuh ratusan dari beberapa bangsa, satu diantaranya adalah Ratu Saba alias Balqis.
Tak hanya itu, Nabi Sulaiman juga mampu menguasai bahasa binatang, berbicara dengan burung, ular bahkan dengan angin dan permadani terbangnya. Selain itu, Nabi Sulaiman juga mampu menguasai bahasa jin dan memerintahkannya.
Manusia di zaman modern sekarang ini hanya beberapa saja yang mampu menguasai beberapa bahasa. Sebagian besar 3 atau 4 bahasa. Jamaknya bahasa Inggris, Arab atau Mandarin.
Baru-baru ini, seorang remaja asal Ambon bernama Gayatri Wailissa mengejutkan banyak orang dengan menguasai 14 bahasa asing. Bahasa-bahasa itu ia pelajari secara otodidak dan bahkan ia pernah mewakili Indonesia dalam Convention on the Right of the Children (CRC) atau konvensi Hak-hak Anak tingkat ASEAN di Thailand.
Namun pada 2014 lalu, Gayatri meninggal akibat pendarahan otak. Maka terhentilah cerita kebanggaan tentang anak manusia Indonesia yang mampu menguasai banyak bahasa.
Di akhir abad 19 silam, ada seorang anak jenius yang menguasai ratusan bahasa. Namanya James William Sidis. Mungkin Sidis adalah satu-satunya manusia yang mampu menguasai 200 bahasa di dunia. James William Sidis atau yang lebih dikenal dengan James Sidis lahir 1 April 1898 di Amerika Serikat. Dia dideteksi memiliki IQ yang diperkirakan diantara 250-300.
James Sidis dianggap sebagai manusia paling jenius yang mengalahkan kejeniusan Da Vinci, Einstein dan ilmuwan-ilmuwan besar lainnya. Namun memang James ini seperti mutiara di dalam lumpur. Nyaris tak terdengar ikhwal kejeniusannya dan ilmu pengetahuannya. Jejaknya, pada suatu hari terekspos oleh seorang pemulung besi nan papa. James memang tragis.
Kisah kejeniusannya terlihat sejak bayi. Pada usia 8 bulan, Sidis mulai bisa makan sendiri dengan menggunakan sendok. Sidis sudah rajin membaca koran New York Times pada usia yang belum genap 2 tahun.
Dia pun sudah menulis beberapa buku sebelum berusia 8 tahun, diantaranya tentang anatomi dan astronomi. Pada usia 11 tahun, Sidis tercatat sebagai mahasiswa termuda di Universitas Harvard. Dia lulus cumlaude sebagai sarjana matematika di usia 16.
Selanjutnya ia melanjutkan kuliahnya namun sempat tersendat karena diganggu oleh sekelompok mahasiswa yang tidak menyukainya. Pada usia 17 tahun, Sidis sempat menerima tawaran sebagai asisten dosen sambil menyelesaikan program doktor, namun sayang, Sidis tidak menyelesaikan studinya dengan alasan merasa frustasi oleh sistem pembelajaran dan perlakuan kakak kelasnya.
"Aku tidak tahu mengapa mereka memberiku pekerjaan ini dan menempatkanku sebagai orang spesial, aku sebenarnya tidak layak sebagai dosen," keluhnya.
Konon, Sidis dapat mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan dalam sehari. Dan Sidis berhasil menguasai 200 bahasa di dunia. Keberhasilan James Sidis dianggap sebagai keberhasilan dari ayahnya, Boris Sidis yang seorang psikolog berdarah Yahudi yang juga seorang lulusan Harvard. Murid psikolog ternama, William James, yang menginspirasi Boris untuk memberikan nama James William kepada anaknya.
Boris memang menjadikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru sekaligus menyerang sistem pendidikan konvensional yang dituduhnya telah menjadi biang keladi kejahatan, kriminalitas dan penyakit.
Karena terlibat dalam demo sosialis, May Day di Boston pada tahun 1919, Sidis ditangkap dan ditahan selama 18 bulan. Saat itu Sidis membuat pernyataan yang menentang adanya wajib militer pada Perang Dunia I. Penangkapannya itu sempat menghebohkan media massa seperti saat dia dikenal sebagai bocah jenius.
Sejak keluar dari penjara, Sidis kemudian menghilang dan setelah sekian lama jejaknya akhirnya ditemukan oleh seorang reporter, yang bertemu dengan seorang pemulung besi tua. Ternyata dialah sang jenius James William Sidis.
Dalam kesehariannya, Sidis hanya sedikit memiliki teman, dan bahkan ia juga sering diasingkan oleh rekan-rekan satu kampusnya dan Sidis juga tidak pernah memiliki seorang pacar atau pun istri. Gelar doktornya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia Kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kerahasiaan, bekerja dengan gaji seadanya, dan mengasingkan diri.
Sidis akhirnya meninggal dunia dalam usia 46 tahun, dalam keadaan menganggur, terasing dan miskin. Sangat ironis sekali bagi orang sejenius Sidis. Banyak yang menilai bahwa kehidupan Sidis tidak bahagia, popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika justru membuatnya tersiksa.
Beberapa tahun sebelum ia meninggal, Sidis memang sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika, sesuatu yang sempat membuat ia dikenal di dunia.
SUMBER : Radar Mojokerto, 12 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar