Teknik Seni Cetak di Tiongkok berasal dari Fungsi Teknik Stempel
Penemuan teknik Seni Cetak di Tiongkok didahului penemuan stempel dengan nama Kaisar Tiongkok, 225 tahun sebelum Masehi. Mulanya stempel itu dicukil di atas permukaan batu, logam, kayu, tanduk atau bambu yang direkamkan ke atas onggokan tanah liat tanpa tinta. Setelah cara pembuatan tinta ditemukan di tahun 400 Masehi, stempel tidak lagi direkamkan ke atas onggokan tanah liat, melainkan langsung ke atas kertas dengan menggunakan tinta. Dengan ditemukannya pembaharuan penggunaan stempel itu, maka lahirlah gagasan untuk membuat stempel dengan tanda-tanda suci yang dicapkan berulang-ulang dalam deretan-deretan tertentu. Misalnya, gambar Budha yang duduk bersemedi. Maka dengan beralihnya fungsi stempel itu dari mencapa nama Kaisar Tiongkok ke tanda-tanda suci agama Budha. Karena itu orang Tiongkok memakai istilah yang sama untuk kerja mencap dalam batas tertentu dan menghasilkan cetakan-cetakan dalam jumlah besar. Di sini bahasa telah menjadi cermin dari sejarah.
Contoh stempel kuno dari dinasti Donghan. Milik dari Liujing, anak ke-9 dari Kaisar Guangwu.
Untuk keperluan cetak-mencetak, juga digunakan blok kayu. Di atas permukaannya yang datar itu dicukilkan tanda-tanda tulisan Tiongkok atau gambar-gambar ilustrasi untk menyertai atau menjelaskan teks-teks suci agama Budha. Dengan sendirinya bukan untuk distempelkan, melainkan berfungsi untuk media cetak. Dengan terlebih dahulu memoles atau melapisi seluruh permukaan cukilan blok kayu itu dengan tinta cetak. Sehelai kertas diletakkan di atas cukilan itu, lalu secara ahli, kertas itu ditekankan dan digosok-gosokkan dengan telapak tangan ke atas cukilan itu atau dengan perantaraan sebilah papan licin, maupun sikat. Saatnya kertas itu dilepaskan dari permukaan cukilan itu ditentukan oleh keahlian dan pengalaman si pencetak.
Tanda-tanda suci Budha bersemedi dalam rekaman stempel berderet di atas kertas.
Di sinilah letaknya seni cetak dengan tangan ke atas kertas. Mencetak tanpa menggunakan alat cetak khusus itu telah dilakukan oleh orang Tiongkok, 700 tahun sebelum gambar-gambar ilustrasi dan teksnya ditemukan cara-cara mencetaknya di Barat.
Kerja sama Jepang dan Tiongkok dalam mencetak sejuta lembar Kata-kata suci agama Budha (Darani).
Jepang juga mengetahui bahwaa teknik pembuatan stempel di Tiongkok telah meningkat ke media seni cetak cukilan kayu ke atas kertas. Terutama yang berhubungan dengan kebutuhan keagamaan. Kemahiran dan ketangguhan seniman-seniman Tiongkok dalam membuat cukilan blok kayu dan mencetaknya, menarik perhatian Maharani Jepang, Syotoku.
Maharani Jepang itu memerintahkan secara resmi untuk mengadakan kerja sama Jepang dan Tiongkok untuk mencetak sejuta lembar Darani, Kata-kata suci agama Budha yang akan disebarkan ke seluruh kerajaan Jepang untuk ditempatkan dalam pagoda-pagoda berukuran kecil. Menurut para penganut agama Budha di masa itu, pengulangan-pengulangan yang tidak ada henti-hentinya dalam membaca teks-teks suci tersebut dan juga pencetakannya dalam jumlah besar, didasarkan atas 2 faktor, yaitu Faktor Keagamaan dan Faktor Filosofis. Faktor Keagamaan didasarkan atas keyakinan para penganut agama Budha bahwa pengulangan-pengulangan membaca Kata-kata suci itu merupakan kegiatan religius yang murni, yang membawa berkat dalam kehidupan manusia.
Faktor Filosofis, bertolak dari kebutuhan akan teks-teks otentik yang murni menurut pelajaran Kong Hu-Cu, karena adanya penghargaan sebesar-besarnya terhadap kebutuhan dalam melestarikan kemurnian teks-teks suci keagamaan itu. Disebabkan dalam mengutip dan membawakannya ada kemungkinan menyelinapkan kesalahan-kesalahan dalam teks-teks suci yang dihormati itu.
Salah satu lembaran Kata-kata suci agama Budha (Darani). Dalam kerja sama Jepang-Tiongkok pada tahun 767 Masehi.
Di sini pulalah letak kebaktian seni cetak itu terhadap agama. Kebutuhan akan agama dari penganut agama Budha terhadap pengulangan-pengulangan yang tidak henti-hentinya itu dan seruan-seruan dari para filsuf terhadap pelestarian teks-teks otentik dari Kata-kata suci itu merupakan 2 faktor yang memberikan restu dan dorongan untuk meningkatkan dan pembangunan seni cetak di Tiongkok, Korea dan Jepang di masa silam.
Dilihat dari keindahan dan kesempurnaan pencukilan blok-blok kayu sebagai media pencetak Kata-kata suci itu, dapatlah disimpulkan bahwa keindahan dan kesempurnaan hasilnya bertolak dari kepercayaan dan keyakinan para ahli pencukil dan pencetaknya terhadap faktor-faktor yang mendukung semangat dari Kata-kata suci tersebut, bagaikan karya-karya seni yang sangat tinggi nilainya. Beberapa eksemplar dari cetakan Kata-kata suci itu dapat di lihat di Museum Nasional Inggris, London.
Teks dari Kata-kata suci itu berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa klasik yang berasal dari India, tetapi ditulis dalam tanda-tanda tulisan Tiongkok. Jadi bukan merupakan terjemahan, melainkan dibawakan secara fonetis, berkenaan dengan bunyi agar kata-kata dalam teks itu dapat dipertahankan dalam kemurniannya.
Menurut kepercayaan penganut agama Budha, menulis dan membaca Kata-kata suci, merupakan kebaktian terhadap agama dan memberian kemungkinan untuk hidup lebih lama. Namun dalam kesibukan penyebaran Kata-kata suci ke seluruh Kerajaan Jepang, sebanyak sejuta lembar, Maharani Syotoku dengan tidak di duga, meninggal dunia. Namun jasanya terhadap agama dihormati setinggi langit. Memang ada benarnya kalau kegiatan mencetak Kata-kata suci itu dijuluki sebagai "Monumen Seni Cetak" yang ditegakkan bersama oleh Jepang dan Tiongkok secara besar-besaran di Asia Timur, jauh sebelum seni cetak itu di temukan oleh orang-orang Barat.
BERSAMBUNG....
Sumber
artikel : buku IKHTISAR SEJARAH PENEMUAN KERTAS, SENI ILUSTRASI DAN
TEKNIK MENCETAK, oleh Baharudin M,S. Penerbit Bahtera Jaya - Jakarta,
tahun 1987. Hak cipta yang dilindungi undang-undang pada : Pengarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar