Terkadang, sangat menyenangkan untuk menonton sebuah film dan tak merasa membutuhkan sekuelnya. Tapi, jika studio-studio film Hollywood dapat menjadikannya sebuah franchise, mereka akan melakukannya setiap waktu. Beberapa disebabkan karena sukses di pasaran, seperti Harry Potter, Fast and Furious, dan bahkan John Wick, namun dalam beberapa waktu, keadaan tidak sesuai harapan dan tak ada pilihan lain selain harus menghentikan produksinya dan beralih ke proyek lain -meski alur cerita film belum mencapai kata tamat.
1. ERAGON.
Sebelum Twilight Saga, The Hunger Games, dan banyak film franchise bertema anak muda berhasil di kancah perfilman Hollywood dalam beberapa tahun terakhir, ada sebuah film garapan Stefen Fangmeier, Eragon. Yang dibuat berdasarkan novel berjudul sama bikinan Christopher Paolini. Seharusnya akan ada empat film adaptasi novel tersebut, namun, berakhir hanya sekadar menawarkan para pemeran yang sempurna dan raupan lumayan di Box Office. Sementara di sisi lain dikritik habis-habisan oleh para kritikus film dan penonton-yang membuat mereka menghentikan sekuel bahkan sebelum mereka memulainya.
Paolini sendiri menulis empat novel dalam seri Inheritance Cycle-nya, yang mana memungkinkan untuk dibuat paling tidak tiga sekuel film tersebut. Dan Fangmeier ingin menggarapnya secara berurutan. "Saya pikir yang terbaik adalah menulis film ketiga terlebih dahulu, dan kemudian, puas dengan itu, lantas kembali ke yang kedua dan melakukan semua persiapan puncaknya di film ketiga. Kemudian mungkin syuting dua dan tiga secara bersama seperti yang mereka lakukan dengan Pirates of the Caribbean, sebagai satu produksi," ucapnya seperti dilansir dari Movieweb. Sayangnya, tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan.
Faktanya, kegagalan Eragon menghentikan karier penyutradaraan Fangmeier tepat saat ia mulai mengalami kemajuan. Seorang ahli efek yang mendapat apresiasi sebelumnya menggarap Jurassic Park. Dan ia kembali ke lapangan setelah franchise Eragon gagal, dan sejak itu ia menggarap Wanted, Sin City, dan Game of Thrones. Jika dia kembali ke pembuatan film, ada beberapa penggemar yang masih ingin melihat kisah lengkap Eragon yang belum terungkap ke layar lebar.
2. THE CHRONICLES OF NARNIA.
Seri klasik Chronicles of Narnia, garapan C.S Lewis, mendapat peringkat sebagai buku anak-anak paling dicintai sepanjang masa. Meskipun ada tujuh novel dalam seri ini, dan kesemuanya ditulis pada awal 50-an, Hollywood hanya 'mampu' mengadaptasi tiga-installment pertama berjudul The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe, mampu meraup pundi-pundi paling banyak, mencapai $746 juta dalam skala global, berbanding bujet produksi yang berjumlah $180 juta. Hasil yang membuat Walden Media dan Disney mau bergerak untuk membuat sekuelnya.
Kendati menganggarkan bujet mencapai $200 juta, pendapatan The Chronicles of Narnia: Prince Caspian hanya $419,7 juta, penurunan yang signifikan dibandingkan dengan installment pertama. Sementara film ketiganya, The Voyage of the Dawn Treader, melanjutkan tren penurunan pendapatan dengan hanya meraup $ 415,7 juta di seluruh dunia. Itu masih jumlah yang lumayan, tapi tak cukup meyakinkan rumah produksi untuk melanjutkan franchise yang menghabiskan dana pembuatan mencapai $200 juta, terutama ketika Disney dan Fox (yang mendistribusikan film ketiga) sudah memiliki beberapa franchise sukses lainnya di bawah naungan mereka. Namun, itu tidak berarti kepemilikan film itu selesai.
Hak cipta film dikembalikan kepada C.S Lewis Company pada tahun 2011, dan pada tahun 2014, mereka membentuk kerja sama dengan The Mark Gordon Company untuk memproduksi film berdasarkan seri keempat dari novelnya berjudul The Silver Chair. Meskipun seri ini berlanjut dalam urutan yang tepat, dengan installment baru berdasarkan novelnya, sayangnya lebih nampak seperti reboot ketimbang seperti sebuah sekuel. Terdapat tim kreatif baru dibalik proyek maupun rumah produksi film keempat tersebut. Yang membuat Disney dan Fox tak tertarik sedikitpun untuk pendistribusian film itu, jadi akhirnya Sony Pictures dan Entertainment One yang mengambil alih pendistribusiannya.
3. SAHARA.
Mencoba mengkopi jejak kesuksesan Indiana Jones bukanlah hal baru di industri perfilman Hollywood. Dan Paramount merasa mampu mengambil kembali kesuksesan yang mereka dapat dari franchise Indiana Jones, dengan mengadaptasi novel Cliff Cussler berjudul Sahara, yang mengisahkan petualangan Dirk Pitt, seorang karakter yang mampu menyaingi Indy dalam kesusteraan. Di atas kertas, Paramount memiliki modal yang bagus: kisah seorang petualang layaknya Indiana Jones dengan berbagai kisah melatar belakangi-dan adegan aksi-seperti James Bond.
Sayangnya, Sahara hanya mampu meraup pendapatan rendah, $ 119 juta, berbanding bujet produksi $ 160 juta. Sutradara Breck Eisner berharap pada akhirnya bisa mengendalikan sekuel, yang sangat bergantung pada seberapa baik film itu dalam penjualan home video. Dengan seri novel Dirk Pitt yang mencapai 18, Eisner and Co. punya banyak bahan untuk diolah. Mungkin jika filmnya tidak membutuhkan anggaran tinggi, maka mungkin akan berhasil. Bagaimanapun, kita hanya bisa melihat bagaimana studio menghabiskan uang untuk melihat film yang berakhir menjadi kegagalan.
4. JOHN CARTER.
Sebuah buku datang sesekali dan mengilhami beberapa generasi untuk mengejar impian mereka. A Princess of Mars karangan Edgar Rice Burroughs adalah contoh nyata-buku itu tidak hanya menginspirasi Carl Sagan untuk mendedikasikan hidupnya mengejar dan mencaritahu kehidupan diluar planet bumi, tapi juga George Lucas yang menciptakan kisah fantasi luar angkasa, Star Wars.
Pendek kata, Hollywood menginginkan adaptasi yang tepat dari novelnya, dan nyatanya membutuhkan waktu setidaknya 80 tahun untuk John Carter naik menuju ke sinema layar lebar. Jika semuanya sesuai rencana, A Princess of Mars bisa menjadi film animasi panjang di dunia pertama-dan bukan Snow White and the Seven Dwarfs.
Ketika hak cipta film dikembalikan ke Mouse House, pihak studio mempekerjakan legenda Pixar Andrew Stanton sebagai sutradara film, dibintangi oleh Taylor Kitsch sebagai sang eponim, John Carter. "Sejak aku membaca buku-buku itu kala kanak-kanak, aku ingin melihat seseorang membuatnya ke layar lebar," kata Stanton. Kerugian besar dalam film ini membuat kepala Walt Disney Studios, Rich Ross, untuk mengundurkan diri dari jabatannya, terlepas dari kenyataan bahwa Ross tidak memasuki posisi itu sampai memasuki perkembangan film. Salah satu keputusan terakhir yang dibuatnya sebelum mengosongkan posisinya adalah memangkas anggaran The Lone Ranger karya Gore Verbinski, mungkin karena dia pikir film itu akan gagal. Dan dia benar.
Sebelum rilis John Carter, tim kreatif produksi berencana untuk menjadikan ini film pertama dalam trilogi, dengan sekuel yang didasarkan pada novel kedua Burrough, The Gods of Mars. Sayangnya, semenjak film tersebut gagal dipasaran dan minat dari Disney yang memudar, hak-hak kreasi film tersebut dikembalikan ke Burroughs estate pada tahun 2014, sehingga menjatuhkan semua harapan akan adanya John Carter 2.
5. LEMONY SNICKET'S A SERIES OF UNFORTUNATE EVENTS.
Tak terbantahkan bahwa Nickelodeon merupakan channel tv favorit anak-anak di era 90-an hingga awal milenium, jadi masuk akal bagi divisi film jaringan untuk memperoleh hak atas seri novel anak-anak terlaris, A Series of Unfortunate Events oleh Daniel Handler, atau yang lebih terkenal sebagai Lemony Snicket. Film ini melewati beberapa rintangan sebelum mendarat dengan sutradara Casper Brad Silberling, sebagai pemimpin proyek film ini, yang dibintangi oleh Jim Carrey sebagai Count Olaf, dengan Emily Browning, Liam Aiken, Kara Hoffman, dan Shelby Hoffman memerankan anak-anak Baudelaire. Jude Law menjadi pelengkap, bersama Meryl Streep, Luis Guzman Catherine O'Hara, dan Craig Ferguson.
Filmnya sendiri mampu meraup pendapatan hingga $ 209 juta di seluruh dunia, tapi tidak cukup bagus untuk menyebutnya sebagai film sukses, karena anggaran produksi film tersebut mencapai $ 140 juta. Rencana rumah produksi pun berantakan. Wakil Ketua Paramount, Rob Friedman, menyebut franchise film tersebut sebagai "Harry Potter versi mereka", tetapi itu tidak cukup membuahkan hasil. Alih-alih mendorong maju dengan sekuel (atau reboot), Paramount memutuskan pilihan terbaik adalah dengan mengadaptasi novel tersebut menjadi serial televisi. Netflix menayangkan perdana serial tersebut pada Januari 2017, dan dengan cepat diperpanjang untuk musim kedua. Terkadang hal-hal bekerja dengan lebih baik di layar kecil, dalam dosis yang lebih kecil.
6. THE GIRL WITH DRAGON TATTOO.
Sebenarnya sudah ada trilogi Millennium versi bahasa Swedia, tetapi sepertinya versi Amerika, yang diproduksi oleh Sony Pictures, tampaknya mengalami kesulitan untuk bergerak maju. David Fincher mengarahkan installment pertama dalam seri, The Girl with Dragon Tattoo — dibintangi Rooney Mara sebagai Lisbeth Salander dan Daniel Craig sebagai Mikael Blomkvist, dan berdasarkan pada novel dengan judul yang sama karangan Steig Larsson — dan ia berencana untuk mengarahkan adaptasi dari dua sekuel novel, The Girl Who Played with Fire dan The Girl Who Kicked the Hornets 'Nest. Tetapi masalah naskah dan banyak penundaan mencegah franchise berlanjut.
Sekarang, alih-alih mengikuti Dragon Tattoo dengan adaptasi dari novel kedua, Sony Pictures telah memutuskan untuk melompat jauh ke depan menuju novel keempat dalam seri, The Girl in the Spider's Web. Tapi disinilah masalahnya: sang novelis Larsson bahkan tidak sempat menulis novel keempat. Dia meninggal bertahun-tahun sebelumnya, dan buku itu malah ditulis oleh sesama penulis Swedia David Lagercrantz. Dan sedihnya, hanya Mara yang mau kembali membintangi sekuelnya, sementara Craig dan Fincher memutuskan keluar dari proyek. Jadi, sementara franchise Dragon Tatoo belum benar-benar berakhir, studio membatalkan rencana untuk memfilmkan dua adaptasi sekuel secara berurutan dan malah langsung melanjutkan dengan film reboot. Dan masih ada jalan panjang sebelum rilis Spider's Web, jadi siapa yang tahu apakah itu akan terjadi.
7. PERCY JACKSON.
Pada akhir tahun 2000-an, 20th Century Fox menggaet Chris Columbus untuk mengadaptasi serial novel karya Rick Riordan Percy Jackson & the Olympians untuk diangkat ke layar lebar. Columbus sendiri adalah pilihan yang tepat untuk proyek ini: lagipula, dialah orang yang menyutradarai Home Alone, The Goonies, dan Mrs. Doubtfire, serta dua film Harry Potter pertama. Sementara Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief, dibintangi oleh Logan Lerman, Brandon T. Jackson, dan Alexandra Daddario, tidak sesukses Harry Potter, itu masih meraih keberhasilan lumayan di box office, dan cukup untuk melanjutkannya dalam sekuel.
Sutradara asal Jerman Thor Freudenthal mengarahkan film berikutnya, Percy Jackson: The Sea of Monsters, yang membuat Lerman, Jackson, dan Daddario kembali. Film ini meraup hampir sebanyak pendahulunya, diantara sukses dan kegagalan. Mungkin pihak studio tidak mendapati menghabiskan dana $ 90 juta atau lebih pada film ketiga menjadi hal yang cukup menarik.
Namun, Lerman mengatakan dia merasa membuat film tersebut menyenangkan dan dengan senang hati membuat film lanjutan — meskipun dia mengakui dia dan rekan-rekannya sudah terlalu tua untuk peran mereka masing-masing, dan kita cenderung percaya bahwa mereka semua sudah terlalu besar bagian dari karir mereka. Lerman sejak itu membintangi film-film seperti Noah karya Darren Aronofsky dan film David Ayer Fury, yang belakangan membuatnya sesuai untuk potensi pendukung Aktor Pendukung Terbaik di Oscar. Karena itu, beralih dari pencapaiannya sekarang dan kembali ke seri anak-anak seperti Percy Jackson akan menjadi kesalahan.
8. I AM NUMBER FOUR.
DreamWorks bermitra dengan Touchstone Pictures untuk mengadaptasi novel I Am Number Four karya Pittacus Lore untuk dibuat menjadi sebuah film layar lebar, dengan distribusi Walt Disney Studios. Dan merekrut direktur Disturbia dan Eagle Eye D.J. Caruso untuk memimpin proyek di bawah pengawasan Michael Bay, yang masuk sebagai produser.
Dengan pihak studio mempekerjakan pencipta Smallville Alfred Gough dan Miles Millar, bersama dengan produser Buffy the Vampire Slayer, Marti Noxon, untuk menulis skenario, film ini sepertinya akan menjadi hit. Meskipun menghasilkan tiga kali lipat dari anggaran produksinya di box office di seluruh dunia, ia hanya menghasilkan $ 150 juta — yang tampaknya tidak cukup meyakinkan untuk membangun franchise. Ulasan negatifnya tentu saja tidak membantu; konsensus kritikus Rotten Tomatoes menyebut film itu "film fiksi ilmiah karangan dan akhirnya terlupakan."
Tak lama setelah film rilis pada tahun 2011, Noxon mengatakan kepada Collider bahwa sekuelnya ditiadakan karena film itu tidak cukup sukses di box office. Selain karakter utama, Noxon mengatakan dia ingin melihat lebih banyak tentang Nomor 6 yang diperankan Teresa Palmer. "Satu-satunya penyesalan saya yang sebenarnya adalah bahwa Nomor 6 benar-benar luar biasa dan saya ingin melihat lebih banyak tentang dia. Kita perlu pahlawan wanita tangguh yang lain," ujarnya. Pada 2013, Caruso mengatakan dia dan pihak studio sedang mendiskusikan adaptasi novel kedua seri, The Power of Six, tetapi sepertinya tidak menghasilkan kepastian dari pembicaraan itu.
9. DIVERGENT.
Kala franchise Twilight Saga mereka mulai memasuki fase akhir, Summit Entertainment membidik serial novel Divergent karya Veronica Roth untuk mengisi kekosongan. Pihak studio berencana untuk membagi buku terakhir menjadi dua film, sebuah taktik yang bekerja dengan baik untuk Twilight, Harry Potter, dan The Hunger Games — tetapi menjadi bumerang dengan Divergent. Meskipun meningkatkan anggaran produksi, tiap installment menghasilkan lebih sedikit uang di pasar domestik, dan pihak studio menarik steker sebelum bab terakhir bisa difilmkan.
Biasanya, jika sebuah seri tidak berhasil di layar lebar, sebuah studio akan berdiskusi sebentar sebelum me-reboot-nya. Summit Entertainment merencanakan sesuatu yang sedikit berbeda: mereka memutuskan untuk mengakhiri seri dengan mengarahkan kembali installment terakhir menjadi film TV. Para pemain dan kru tidak setuju dengan gagasan itu, terutama Shailene Woodley, yang mengatakan dia tidak mendaftar untuk membintangi film TV. "Karena menghormati seluruh skenario, mungkin ada hal-hal yang telah berubah," jelasnya, "Tapi aku tidak mendaftar untuk melakoni acara TV," tandasnya. Dengan Woodley dan Miles Teller memilih untuk mundur dari proyek, tidak ada yang tahu ke mana arah pihak studio akan berlanjut.
10. ENDER'S GAME.
Serial young-adult lainnya dari Lionsgate dan Summit Entertainment yang coba diadaptasi setelah berakhirnya The Twilight Saga adalah Ender's Game, berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Orson Scott Card. Gavin Hood disewa untuk menjadi sutradara, dan ia berusaha memberikan adaptasi terbaik yang bisa dilakukan kepada anak-anak tercinta, termasuk mendapatkan pemeran terbaik: Asa Butterfield, Hailee Steinfeld, Harrison Ford, Viola Davis, Abigail Breslin, dan Ben Kingsley.
Meskipun Ender's Game mengumpulkan ulasan yang umumnya positif, itu tidak cukup untuk mendorong film untuk layak mendapatkan sekuel. Lagi pula, film tersebut hanya menghasilkan $ 125,5 juta, berbanding dengan anggaran produksi sebesar $ 110 juta.
Ada juga isu tentang sang penulis sendiri. Ender's Game muncul dalam iklim bermuatan politik yang membuat kasus pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat sampai ke Mahkamah Agung, dan komentar Card tentang homoseksualitas dan pernikahan sesama jenis yang dipimpin aktivis, terutama Geeks OUT, untuk memboikot film. "Jangan membeli tiket di teater, jangan membeli DVD, jangan menontonnya sesuai permintaan. Abaikan semua barang dagangan dan mainan. Betapapun kamu mungkin mengagumi buku-bukunya, jauhkan uangmu dari kantong Orson Scott Card," desak kelompok itu. Card sendiri mengeluarkan berbagai pernyataan sebagai tanggapan, tetapi kekacauan sudah terjadi.
Meskipun ada satu anggota pemeran yang menyarankan membuat naskah untuk Speaker's for the Dead (sekuel novel), kendala anggaran mencegah tim kreatif produksi untuk bergerak maju dalam franchise yang direncanakan. Jika semuanya berjalan, Hood berpikir mendasarkan sekuel pada buku baru Card akan lebih baik. Lionsgate berpikir secara berbeda. Faktanya, pihak studio, pada saat itu, mempertimbangkan spin-off TV, tetapi nyatanya tidak ada yang terjadi.
Pada akhirnya cukup disayangkan film-film tersebut harus terpotong dan menggantung. Kebanyakan karena permasalahan dana (tidak mencapai target box office) dan isu eksternal yang tidak perlu (komentar sang novelis). Menurut saya pribadi, berkaca dari kasus-kasus diatas, rasanya perlu pihak studio memikirkan matang-matang dan memilah-milah pilihan novel mana yang patut untuk diangkat menuju layar lebar. Atau jika memang sudah terlanjur bikin, perlu dipilah lagi bagian-bagian mana dari novel yang dipakai. Agar tak terjadi lagi kisah film-film adaptasi gagal karena tak mencapai fase akhir dari novel.
Sumber artikel: https://www.looper.com/45679/franchises-canceled-final-film/
Paolini sendiri menulis empat novel dalam seri Inheritance Cycle-nya, yang mana memungkinkan untuk dibuat paling tidak tiga sekuel film tersebut. Dan Fangmeier ingin menggarapnya secara berurutan. "Saya pikir yang terbaik adalah menulis film ketiga terlebih dahulu, dan kemudian, puas dengan itu, lantas kembali ke yang kedua dan melakukan semua persiapan puncaknya di film ketiga. Kemudian mungkin syuting dua dan tiga secara bersama seperti yang mereka lakukan dengan Pirates of the Caribbean, sebagai satu produksi," ucapnya seperti dilansir dari Movieweb. Sayangnya, tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan.
Faktanya, kegagalan Eragon menghentikan karier penyutradaraan Fangmeier tepat saat ia mulai mengalami kemajuan. Seorang ahli efek yang mendapat apresiasi sebelumnya menggarap Jurassic Park. Dan ia kembali ke lapangan setelah franchise Eragon gagal, dan sejak itu ia menggarap Wanted, Sin City, dan Game of Thrones. Jika dia kembali ke pembuatan film, ada beberapa penggemar yang masih ingin melihat kisah lengkap Eragon yang belum terungkap ke layar lebar.
2. THE CHRONICLES OF NARNIA.
sumber gbr:movies4kids.com
Seri klasik Chronicles of Narnia, garapan C.S Lewis, mendapat peringkat sebagai buku anak-anak paling dicintai sepanjang masa. Meskipun ada tujuh novel dalam seri ini, dan kesemuanya ditulis pada awal 50-an, Hollywood hanya 'mampu' mengadaptasi tiga-installment pertama berjudul The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe, mampu meraup pundi-pundi paling banyak, mencapai $746 juta dalam skala global, berbanding bujet produksi yang berjumlah $180 juta. Hasil yang membuat Walden Media dan Disney mau bergerak untuk membuat sekuelnya.
Kendati menganggarkan bujet mencapai $200 juta, pendapatan The Chronicles of Narnia: Prince Caspian hanya $419,7 juta, penurunan yang signifikan dibandingkan dengan installment pertama. Sementara film ketiganya, The Voyage of the Dawn Treader, melanjutkan tren penurunan pendapatan dengan hanya meraup $ 415,7 juta di seluruh dunia. Itu masih jumlah yang lumayan, tapi tak cukup meyakinkan rumah produksi untuk melanjutkan franchise yang menghabiskan dana pembuatan mencapai $200 juta, terutama ketika Disney dan Fox (yang mendistribusikan film ketiga) sudah memiliki beberapa franchise sukses lainnya di bawah naungan mereka. Namun, itu tidak berarti kepemilikan film itu selesai.
Hak cipta film dikembalikan kepada C.S Lewis Company pada tahun 2011, dan pada tahun 2014, mereka membentuk kerja sama dengan The Mark Gordon Company untuk memproduksi film berdasarkan seri keempat dari novelnya berjudul The Silver Chair. Meskipun seri ini berlanjut dalam urutan yang tepat, dengan installment baru berdasarkan novelnya, sayangnya lebih nampak seperti reboot ketimbang seperti sebuah sekuel. Terdapat tim kreatif baru dibalik proyek maupun rumah produksi film keempat tersebut. Yang membuat Disney dan Fox tak tertarik sedikitpun untuk pendistribusian film itu, jadi akhirnya Sony Pictures dan Entertainment One yang mengambil alih pendistribusiannya.
3. SAHARA.
sumber gbr:google.com
Mencoba mengkopi jejak kesuksesan Indiana Jones bukanlah hal baru di industri perfilman Hollywood. Dan Paramount merasa mampu mengambil kembali kesuksesan yang mereka dapat dari franchise Indiana Jones, dengan mengadaptasi novel Cliff Cussler berjudul Sahara, yang mengisahkan petualangan Dirk Pitt, seorang karakter yang mampu menyaingi Indy dalam kesusteraan. Di atas kertas, Paramount memiliki modal yang bagus: kisah seorang petualang layaknya Indiana Jones dengan berbagai kisah melatar belakangi-dan adegan aksi-seperti James Bond.
Sayangnya, Sahara hanya mampu meraup pendapatan rendah, $ 119 juta, berbanding bujet produksi $ 160 juta. Sutradara Breck Eisner berharap pada akhirnya bisa mengendalikan sekuel, yang sangat bergantung pada seberapa baik film itu dalam penjualan home video. Dengan seri novel Dirk Pitt yang mencapai 18, Eisner and Co. punya banyak bahan untuk diolah. Mungkin jika filmnya tidak membutuhkan anggaran tinggi, maka mungkin akan berhasil. Bagaimanapun, kita hanya bisa melihat bagaimana studio menghabiskan uang untuk melihat film yang berakhir menjadi kegagalan.
4. JOHN CARTER.
sumber gbr:variety.com
Sebuah buku datang sesekali dan mengilhami beberapa generasi untuk mengejar impian mereka. A Princess of Mars karangan Edgar Rice Burroughs adalah contoh nyata-buku itu tidak hanya menginspirasi Carl Sagan untuk mendedikasikan hidupnya mengejar dan mencaritahu kehidupan diluar planet bumi, tapi juga George Lucas yang menciptakan kisah fantasi luar angkasa, Star Wars.
Pendek kata, Hollywood menginginkan adaptasi yang tepat dari novelnya, dan nyatanya membutuhkan waktu setidaknya 80 tahun untuk John Carter naik menuju ke sinema layar lebar. Jika semuanya sesuai rencana, A Princess of Mars bisa menjadi film animasi panjang di dunia pertama-dan bukan Snow White and the Seven Dwarfs.
Ketika hak cipta film dikembalikan ke Mouse House, pihak studio mempekerjakan legenda Pixar Andrew Stanton sebagai sutradara film, dibintangi oleh Taylor Kitsch sebagai sang eponim, John Carter. "Sejak aku membaca buku-buku itu kala kanak-kanak, aku ingin melihat seseorang membuatnya ke layar lebar," kata Stanton. Kerugian besar dalam film ini membuat kepala Walt Disney Studios, Rich Ross, untuk mengundurkan diri dari jabatannya, terlepas dari kenyataan bahwa Ross tidak memasuki posisi itu sampai memasuki perkembangan film. Salah satu keputusan terakhir yang dibuatnya sebelum mengosongkan posisinya adalah memangkas anggaran The Lone Ranger karya Gore Verbinski, mungkin karena dia pikir film itu akan gagal. Dan dia benar.
Sebelum rilis John Carter, tim kreatif produksi berencana untuk menjadikan ini film pertama dalam trilogi, dengan sekuel yang didasarkan pada novel kedua Burrough, The Gods of Mars. Sayangnya, semenjak film tersebut gagal dipasaran dan minat dari Disney yang memudar, hak-hak kreasi film tersebut dikembalikan ke Burroughs estate pada tahun 2014, sehingga menjatuhkan semua harapan akan adanya John Carter 2.
5. LEMONY SNICKET'S A SERIES OF UNFORTUNATE EVENTS.
sumber gbr:variety.com
Tak terbantahkan bahwa Nickelodeon merupakan channel tv favorit anak-anak di era 90-an hingga awal milenium, jadi masuk akal bagi divisi film jaringan untuk memperoleh hak atas seri novel anak-anak terlaris, A Series of Unfortunate Events oleh Daniel Handler, atau yang lebih terkenal sebagai Lemony Snicket. Film ini melewati beberapa rintangan sebelum mendarat dengan sutradara Casper Brad Silberling, sebagai pemimpin proyek film ini, yang dibintangi oleh Jim Carrey sebagai Count Olaf, dengan Emily Browning, Liam Aiken, Kara Hoffman, dan Shelby Hoffman memerankan anak-anak Baudelaire. Jude Law menjadi pelengkap, bersama Meryl Streep, Luis Guzman Catherine O'Hara, dan Craig Ferguson.
Filmnya sendiri mampu meraup pendapatan hingga $ 209 juta di seluruh dunia, tapi tidak cukup bagus untuk menyebutnya sebagai film sukses, karena anggaran produksi film tersebut mencapai $ 140 juta. Rencana rumah produksi pun berantakan. Wakil Ketua Paramount, Rob Friedman, menyebut franchise film tersebut sebagai "Harry Potter versi mereka", tetapi itu tidak cukup membuahkan hasil. Alih-alih mendorong maju dengan sekuel (atau reboot), Paramount memutuskan pilihan terbaik adalah dengan mengadaptasi novel tersebut menjadi serial televisi. Netflix menayangkan perdana serial tersebut pada Januari 2017, dan dengan cepat diperpanjang untuk musim kedua. Terkadang hal-hal bekerja dengan lebih baik di layar kecil, dalam dosis yang lebih kecil.
6. THE GIRL WITH DRAGON TATTOO.
sumber gbr:thewrap.com
Sebenarnya sudah ada trilogi Millennium versi bahasa Swedia, tetapi sepertinya versi Amerika, yang diproduksi oleh Sony Pictures, tampaknya mengalami kesulitan untuk bergerak maju. David Fincher mengarahkan installment pertama dalam seri, The Girl with Dragon Tattoo — dibintangi Rooney Mara sebagai Lisbeth Salander dan Daniel Craig sebagai Mikael Blomkvist, dan berdasarkan pada novel dengan judul yang sama karangan Steig Larsson — dan ia berencana untuk mengarahkan adaptasi dari dua sekuel novel, The Girl Who Played with Fire dan The Girl Who Kicked the Hornets 'Nest. Tetapi masalah naskah dan banyak penundaan mencegah franchise berlanjut.
7. PERCY JACKSON.
sumber gbr:google.com
Pada akhir tahun 2000-an, 20th Century Fox menggaet Chris Columbus untuk mengadaptasi serial novel karya Rick Riordan Percy Jackson & the Olympians untuk diangkat ke layar lebar. Columbus sendiri adalah pilihan yang tepat untuk proyek ini: lagipula, dialah orang yang menyutradarai Home Alone, The Goonies, dan Mrs. Doubtfire, serta dua film Harry Potter pertama. Sementara Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief, dibintangi oleh Logan Lerman, Brandon T. Jackson, dan Alexandra Daddario, tidak sesukses Harry Potter, itu masih meraih keberhasilan lumayan di box office, dan cukup untuk melanjutkannya dalam sekuel.
Sutradara asal Jerman Thor Freudenthal mengarahkan film berikutnya, Percy Jackson: The Sea of Monsters, yang membuat Lerman, Jackson, dan Daddario kembali. Film ini meraup hampir sebanyak pendahulunya, diantara sukses dan kegagalan. Mungkin pihak studio tidak mendapati menghabiskan dana $ 90 juta atau lebih pada film ketiga menjadi hal yang cukup menarik.
Namun, Lerman mengatakan dia merasa membuat film tersebut menyenangkan dan dengan senang hati membuat film lanjutan — meskipun dia mengakui dia dan rekan-rekannya sudah terlalu tua untuk peran mereka masing-masing, dan kita cenderung percaya bahwa mereka semua sudah terlalu besar bagian dari karir mereka. Lerman sejak itu membintangi film-film seperti Noah karya Darren Aronofsky dan film David Ayer Fury, yang belakangan membuatnya sesuai untuk potensi pendukung Aktor Pendukung Terbaik di Oscar. Karena itu, beralih dari pencapaiannya sekarang dan kembali ke seri anak-anak seperti Percy Jackson akan menjadi kesalahan.
8. I AM NUMBER FOUR.
sumber gbr:empireonline.com
DreamWorks bermitra dengan Touchstone Pictures untuk mengadaptasi novel I Am Number Four karya Pittacus Lore untuk dibuat menjadi sebuah film layar lebar, dengan distribusi Walt Disney Studios. Dan merekrut direktur Disturbia dan Eagle Eye D.J. Caruso untuk memimpin proyek di bawah pengawasan Michael Bay, yang masuk sebagai produser.
Dengan pihak studio mempekerjakan pencipta Smallville Alfred Gough dan Miles Millar, bersama dengan produser Buffy the Vampire Slayer, Marti Noxon, untuk menulis skenario, film ini sepertinya akan menjadi hit. Meskipun menghasilkan tiga kali lipat dari anggaran produksinya di box office di seluruh dunia, ia hanya menghasilkan $ 150 juta — yang tampaknya tidak cukup meyakinkan untuk membangun franchise. Ulasan negatifnya tentu saja tidak membantu; konsensus kritikus Rotten Tomatoes menyebut film itu "film fiksi ilmiah karangan dan akhirnya terlupakan."
Tak lama setelah film rilis pada tahun 2011, Noxon mengatakan kepada Collider bahwa sekuelnya ditiadakan karena film itu tidak cukup sukses di box office. Selain karakter utama, Noxon mengatakan dia ingin melihat lebih banyak tentang Nomor 6 yang diperankan Teresa Palmer. "Satu-satunya penyesalan saya yang sebenarnya adalah bahwa Nomor 6 benar-benar luar biasa dan saya ingin melihat lebih banyak tentang dia. Kita perlu pahlawan wanita tangguh yang lain," ujarnya. Pada 2013, Caruso mengatakan dia dan pihak studio sedang mendiskusikan adaptasi novel kedua seri, The Power of Six, tetapi sepertinya tidak menghasilkan kepastian dari pembicaraan itu.
9. DIVERGENT.
sumber gbr:medium.com
Kala franchise Twilight Saga mereka mulai memasuki fase akhir, Summit Entertainment membidik serial novel Divergent karya Veronica Roth untuk mengisi kekosongan. Pihak studio berencana untuk membagi buku terakhir menjadi dua film, sebuah taktik yang bekerja dengan baik untuk Twilight, Harry Potter, dan The Hunger Games — tetapi menjadi bumerang dengan Divergent. Meskipun meningkatkan anggaran produksi, tiap installment menghasilkan lebih sedikit uang di pasar domestik, dan pihak studio menarik steker sebelum bab terakhir bisa difilmkan.
Biasanya, jika sebuah seri tidak berhasil di layar lebar, sebuah studio akan berdiskusi sebentar sebelum me-reboot-nya. Summit Entertainment merencanakan sesuatu yang sedikit berbeda: mereka memutuskan untuk mengakhiri seri dengan mengarahkan kembali installment terakhir menjadi film TV. Para pemain dan kru tidak setuju dengan gagasan itu, terutama Shailene Woodley, yang mengatakan dia tidak mendaftar untuk membintangi film TV. "Karena menghormati seluruh skenario, mungkin ada hal-hal yang telah berubah," jelasnya, "Tapi aku tidak mendaftar untuk melakoni acara TV," tandasnya. Dengan Woodley dan Miles Teller memilih untuk mundur dari proyek, tidak ada yang tahu ke mana arah pihak studio akan berlanjut.
10. ENDER'S GAME.
sumber gbr:nbcnews.com
Serial young-adult lainnya dari Lionsgate dan Summit Entertainment yang coba diadaptasi setelah berakhirnya The Twilight Saga adalah Ender's Game, berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Orson Scott Card. Gavin Hood disewa untuk menjadi sutradara, dan ia berusaha memberikan adaptasi terbaik yang bisa dilakukan kepada anak-anak tercinta, termasuk mendapatkan pemeran terbaik: Asa Butterfield, Hailee Steinfeld, Harrison Ford, Viola Davis, Abigail Breslin, dan Ben Kingsley.
Meskipun Ender's Game mengumpulkan ulasan yang umumnya positif, itu tidak cukup untuk mendorong film untuk layak mendapatkan sekuel. Lagi pula, film tersebut hanya menghasilkan $ 125,5 juta, berbanding dengan anggaran produksi sebesar $ 110 juta.
Ada juga isu tentang sang penulis sendiri. Ender's Game muncul dalam iklim bermuatan politik yang membuat kasus pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat sampai ke Mahkamah Agung, dan komentar Card tentang homoseksualitas dan pernikahan sesama jenis yang dipimpin aktivis, terutama Geeks OUT, untuk memboikot film. "Jangan membeli tiket di teater, jangan membeli DVD, jangan menontonnya sesuai permintaan. Abaikan semua barang dagangan dan mainan. Betapapun kamu mungkin mengagumi buku-bukunya, jauhkan uangmu dari kantong Orson Scott Card," desak kelompok itu. Card sendiri mengeluarkan berbagai pernyataan sebagai tanggapan, tetapi kekacauan sudah terjadi.
Meskipun ada satu anggota pemeran yang menyarankan membuat naskah untuk Speaker's for the Dead (sekuel novel), kendala anggaran mencegah tim kreatif produksi untuk bergerak maju dalam franchise yang direncanakan. Jika semuanya berjalan, Hood berpikir mendasarkan sekuel pada buku baru Card akan lebih baik. Lionsgate berpikir secara berbeda. Faktanya, pihak studio, pada saat itu, mempertimbangkan spin-off TV, tetapi nyatanya tidak ada yang terjadi.
Pada akhirnya cukup disayangkan film-film tersebut harus terpotong dan menggantung. Kebanyakan karena permasalahan dana (tidak mencapai target box office) dan isu eksternal yang tidak perlu (komentar sang novelis). Menurut saya pribadi, berkaca dari kasus-kasus diatas, rasanya perlu pihak studio memikirkan matang-matang dan memilah-milah pilihan novel mana yang patut untuk diangkat menuju layar lebar. Atau jika memang sudah terlanjur bikin, perlu dipilah lagi bagian-bagian mana dari novel yang dipakai. Agar tak terjadi lagi kisah film-film adaptasi gagal karena tak mencapai fase akhir dari novel.
Sumber artikel: https://www.looper.com/45679/franchises-canceled-final-film/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar