Media televisi
saat ini telah benar-benar menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Bahkan, dalam sebuah keluarga, ia telah menjadi satu prasyarat yg “harus” ada
di tengah-tengah mereka. Rumah baru bisa dikatakan lengkap jika ada pesawat
televisi di dalamnya.
Tak ada yg
menyangkal, sebagai primadona media, televisi mampu memberikan imbas media yg
luar biasa besar bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, kehadirannya yg masif,
dengan bau kapitalistiknya yg kental, langsung maupun tidak telah berpengaruh
pada perilaku dan pola pikir masyarakat.
Karenanya, bisa
dimengerti, jika tudingan banyak diarahkan ke media televisi sabagai penyebab
maraknya gaya
hidup konsumeristil-hedonistik. Setidaknya itu tercermin dari banyaknya program
televisi yg hanya memunculkan kesemarakan dan kemudahan hidup, yg bukan
merupakan realitas sosial masyarakat penonotonnya.
Dalam konteks yg
demikian, menurut penulis, membiarkan media televisi Indonesia melenggang tanpa
pengawasan, tanpa kontrol, bahkan mungkin tanpa undang-undang, adalah sikap yg
berbahaya sekaligus bodoh.
Kekhawatiran itu
bukan tanpa alasan. Hal ini karena televisi adalah media yg paling luas
dikonsumsi oleh masyarakat. Jenis media ini, sebagai media audio-visual, tidak
membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya.
Penulis lewat
buku ini mengajak masyarakat untuk merenung ulang tentang peran, makna, dan
keberadaan televisi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Mengajak masyarakat
untuk mengkritisi televis agar teror televisi tidak dibiarkan berkembang
sekehandak hati.
Bagi pria yg
banyak menulis skenario sinetron di beberapa stasiun televisi ini, tanpa
kemampuan untuk mengambil jarak bagi munculnya sifat kritis, televisi memiliki
kemampuan unutk mmebius, membohongi, dan melarikan pemirsanya dari
kenyataan-kenyataan kehidupan di sekeliling.
Hal tersebut
ditambah dengan sebuah kenyataan bahwa televisi tidak hanya memberikan ruang
diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Media ini mampu
memberikan proses learning social norms
yg lebih intensif daripada lainnya.
Lebih dari itu,
televisi juga memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur jauh dibandingkan
media-media lainnya. Apalagi jika media televisi tersebut dibangun dan
ditumbuhkan oleh orientasi laba secara ekonomi, tanpa regulasi yg jelas, serta
tanpa lembaga kontrol yg memadai.
Implikasinya,
masyarakat kemudian mengalami penumpulan, pendangkalan, dan penyederhanaan atas
norma-norma kehidupan. Tak ada argumentasi di sana. Simplifikasi ini membuat sumbangsih
televisi terhadap kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara patut
dipertanyakan.
Menurut
Sunardian, yg juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Yogyakarta ini, dalam
silang-sengkarut wajah pertelevisian kita saat ini, berbagai permasalahan pun
muncul dalam citraan tentang media televisi.
Citra yg lebih
menonjol adalah adanya pengeksploitasian. Berbagai bentuk materi siaran,
apalagi yg berjenis hiburan seperti sinetron, kuis, infotainment, atau reality
show seringkali lepas dari norma-norma kepatutan sebuah karya kreatif, yg
semestinya harus bertanggung jawab pada tumbuhnya eksploisasi masyarakat.
Syahdan, maka
eksploitasi, dan bukannya eksploitasi, adalah warna yg kuat pada media televisi
kita. Bukan hanya televisi swasta, melainkan TVRI yg dikelola BUMN. Rebuatan
penonton dalam berbagai tayangan hiburannya, baik berjenis infotainment maupun reality
show, menunjukkan dengan jelas upaya keras masing-masing televisi.
Semua itu dengan
jelas menunjukkan bahwa pragmatisme ekonomi dan logika komersial telah membuat
program acara televisi menjadi beragam bentuknya, miskin idealisme dan tanpa
visi yg jelas. Persis seperti berada di tengah pasar malam, semua stasiun
televisi menayangkan kegemerlapan, kegebyaran, spektakuler, keterkejutan, serta
pesona fisik yg mengaduk-aduk emosi masyarakat.
Maka setiap hari
kita akan melihat praksis tayangan televisi Indonesia adalah extravaganza,
karnaval, gebyar, in the city,
pemburu hantu, jejak petualang, brutal siang, bang napi, variety show, kasak-kusuk, let’s
dance, sinetron dan sebagainya. Sebagaimana judulnya, acara-acara tersebut
bukanlah sesuatu yg reflektif (hlm. 162).
Itu semua
diperparah dengna apa yg didewakan dalam dunia pertelevisian, yakni ideologi
ranting. Angka ranting yg tinggi selama ini selalu dijadikan justifikasi dan
rujukan bahwa sebuah tayangan disukai kebanyakan masyarakat. Padahal angka
ranting diperoleh tak lebih dari dua juta penduduk Indonesia. Di sinilah rating
menjadi banalitas tersendiri dalam pertelevisian yg mengabaikan dimensi etis.
Semua itu
akhirnya telah menjadikan program yg tidak bermutu. Tidak bermutu karena tidak
memenuhi unsur kelogisan, unsur kenormalan norma dan etika yg berlaku, dan juga
unsur keseimbangan. Di sinilah televisi telah gagal menjadi mediasi bagi
pencerdasan bangsa.
Persoalannya
tidak sampai disitu. Menurut Sunardian, dunia pertelevisian kita selama ini
juga sangat berpersepsi dan berperspektif Jakarta
(Jakarta
sentris). Secara perlahan tapi pasti media televisi telah mengubah wajah
kebudayaan Indonesia
menjadi seragam. Masyarakat kemudian dieksploitasi dalam satu wajah: masyarakat
kota.
Ironisnya, masyrakat tetap berada pada posisi konsumen yg tidak mandiri (hlm.
61-63).
Dengan semua
itu, menurut penulis, setidaknya ada empat bobroknya media pertelevisian kita. Pertama,
aturan yg adil dari pemerintah. Kedua, lembaga kontrol yg berwibawa. Ketiga,
tumbuhnya kaum profesional televisi yg proposional. Dan keempat, daya kritis
masyarakat.
Jika dari
keempat itu tidak ada, apalagi semuanya, maka televisi hanya akan menjadi racun
bagi masyarakat. Maka, sudah saatnyalah masyarakat berani mematikan televisinya
begitu acara tersebut tidak bermanfaat. Bahkan, kalau perlu: matikan saja,
TV-Mu!.
(Sumber : Jawa Pos, Minggu 26 Februari 2006. Dari
wacana : Buku. Judul Buku : Matikan TV-Mu!).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar