Selasa, 03 Februari 2015

Saduran : Wajah Bopeng Televisi Kita!!!!



Media televisi saat ini telah benar-benar menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan, dalam sebuah keluarga, ia telah menjadi satu prasyarat yg “harus” ada di tengah-tengah mereka. Rumah baru bisa dikatakan lengkap jika ada pesawat televisi di dalamnya.

Tak ada yg menyangkal, sebagai primadona media, televisi mampu memberikan imbas media yg luar biasa besar bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, kehadirannya yg masif, dengan bau kapitalistiknya yg kental, langsung maupun tidak telah berpengaruh pada perilaku dan pola pikir masyarakat.

Karenanya, bisa dimengerti, jika tudingan banyak diarahkan ke media televisi sabagai penyebab maraknya gaya hidup konsumeristil-hedonistik. Setidaknya itu tercermin dari banyaknya program televisi yg hanya memunculkan kesemarakan dan kemudahan hidup, yg bukan merupakan realitas sosial masyarakat penonotonnya.

Dalam konteks yg demikian, menurut penulis, membiarkan media televisi Indonesia melenggang tanpa pengawasan, tanpa kontrol, bahkan mungkin tanpa undang-undang, adalah sikap yg berbahaya sekaligus bodoh.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Hal ini karena televisi adalah media yg paling luas dikonsumsi oleh masyarakat. Jenis media ini, sebagai media audio-visual, tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya.

Penulis lewat buku ini mengajak masyarakat untuk merenung ulang tentang peran, makna, dan keberadaan televisi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Mengajak masyarakat untuk mengkritisi televis agar teror televisi tidak dibiarkan berkembang sekehandak hati.

Bagi pria yg banyak menulis skenario sinetron di beberapa stasiun televisi ini, tanpa kemampuan untuk mengambil jarak bagi munculnya sifat kritis, televisi memiliki kemampuan unutk mmebius, membohongi, dan melarikan pemirsanya dari kenyataan-kenyataan kehidupan di sekeliling.

Hal tersebut ditambah dengan sebuah kenyataan bahwa televisi tidak hanya memberikan ruang diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Media ini mampu memberikan proses learning social norms yg lebih intensif daripada lainnya.

Lebih dari itu, televisi juga memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur jauh dibandingkan media-media lainnya. Apalagi jika media televisi tersebut dibangun dan ditumbuhkan oleh orientasi laba secara ekonomi, tanpa regulasi yg jelas, serta tanpa lembaga kontrol yg memadai.

Implikasinya, masyarakat kemudian mengalami penumpulan, pendangkalan, dan penyederhanaan atas norma-norma kehidupan. Tak ada argumentasi di sana. Simplifikasi ini membuat sumbangsih televisi terhadap kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara patut dipertanyakan.

Menurut Sunardian, yg juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Yogyakarta ini, dalam silang-sengkarut wajah pertelevisian kita saat ini, berbagai permasalahan pun muncul dalam citraan tentang media televisi.

Citra yg lebih menonjol adalah adanya pengeksploitasian. Berbagai bentuk materi siaran, apalagi yg berjenis hiburan seperti sinetron, kuis, infotainment, atau reality show seringkali lepas dari norma-norma kepatutan sebuah karya kreatif, yg semestinya harus bertanggung jawab pada tumbuhnya eksploisasi masyarakat.

Syahdan, maka eksploitasi, dan bukannya eksploitasi, adalah warna yg kuat pada media televisi kita. Bukan hanya televisi swasta, melainkan TVRI yg dikelola BUMN. Rebuatan penonton dalam berbagai tayangan hiburannya, baik berjenis infotainment maupun reality show, menunjukkan dengan jelas upaya keras masing-masing televisi.

Semua itu dengan jelas menunjukkan bahwa pragmatisme ekonomi dan logika komersial telah membuat program acara televisi menjadi beragam bentuknya, miskin idealisme dan tanpa visi yg jelas. Persis seperti berada di tengah pasar malam, semua stasiun televisi menayangkan kegemerlapan, kegebyaran, spektakuler, keterkejutan, serta pesona fisik yg mengaduk-aduk emosi masyarakat.

Maka setiap hari kita akan melihat praksis tayangan televisi Indonesia adalah extravaganza, karnaval, gebyar, in the city, pemburu hantu, jejak petualang, brutal siang, bang napi, variety show, kasak-kusuk, let’s dance, sinetron dan sebagainya. Sebagaimana judulnya, acara-acara tersebut bukanlah sesuatu yg reflektif (hlm. 162).

Itu semua diperparah dengna apa yg didewakan dalam dunia pertelevisian, yakni ideologi ranting. Angka ranting yg tinggi selama ini selalu dijadikan justifikasi dan rujukan bahwa sebuah tayangan disukai kebanyakan masyarakat. Padahal angka ranting diperoleh tak lebih dari dua juta penduduk Indonesia. Di sinilah rating menjadi banalitas tersendiri dalam pertelevisian yg mengabaikan dimensi etis.

Semua itu akhirnya telah menjadikan program yg tidak bermutu. Tidak bermutu karena tidak memenuhi unsur kelogisan, unsur kenormalan norma dan etika yg berlaku, dan juga unsur keseimbangan. Di sinilah televisi telah gagal menjadi mediasi bagi pencerdasan bangsa.

Persoalannya tidak sampai disitu. Menurut Sunardian, dunia pertelevisian kita selama ini juga sangat berpersepsi dan berperspektif Jakarta (Jakarta sentris). Secara perlahan tapi pasti media televisi telah mengubah wajah kebudayaan Indonesia menjadi seragam. Masyarakat kemudian dieksploitasi dalam satu wajah: masyarakat kota. Ironisnya, masyrakat tetap berada pada posisi konsumen yg tidak mandiri (hlm. 61-63).

Dengan semua itu, menurut penulis, setidaknya ada empat bobroknya media pertelevisian kita. Pertama, aturan yg adil dari pemerintah. Kedua, lembaga kontrol yg berwibawa. Ketiga, tumbuhnya kaum profesional televisi yg proposional. Dan keempat, daya kritis masyarakat.

Jika dari keempat itu tidak ada, apalagi semuanya, maka televisi hanya akan menjadi racun bagi masyarakat. Maka, sudah saatnyalah masyarakat berani mematikan televisinya begitu acara tersebut tidak bermanfaat. Bahkan, kalau perlu: matikan saja, TV-Mu!.

(Sumber : Jawa Pos, Minggu 26 Februari 2006. Dari wacana : Buku. Judul Buku : Matikan TV-Mu!).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar