Suasana ujian masuk perguruan tinggi di salah satu perguruan tinggi ternama di Korsel.(voicesofyouth.org)
Momen-momen memasuki dunia perkuliahan menjadi tekanan berat bagi siswa di Korea Selatan. Sebab, itu menjadi taruhan masa depan mereka. Sebagian di antara mereka yang tak kuasa menghadapi tekanan kanan-kiri menempuh jalan pintas dengan bunuh diri. Demi menekan angka kematian, pemerintah membuat aplikasi pencegahan yang bisa di unduh di smartphone.
____________________________________________________________________________________________
"Pendidikan di Korea Selatan bagaikan rimba belantara. Banyak sekali tantangan yang harus dilalui."
Kata-kata tersebut dilontarkan Young Hwan-kim, 17, pelajar di salah satu sekolah di Korsel. Tiap hari, Kim dan teman-temannya belajar di kelas mulai pukul 8.00 hingga pukul 15.40. Jam belajar tersebut belum termasuk pelajaran tambahan demi persiapan memasuki universitas. Hal semacam itu, misalnya, dialami Inchae Ryu yang setiap hari belajar minimal 12 jam, ditambah mengerjakan PR dan les Inggris 2 kali seminggu. "Rasanya saya nggak punya waktu lagi untuk berpikir tentang mimpi maupun masa depan," keluh Ryu. Waktunya sudah habis untuk belajar, belajar, dan belajar.
Pressure kian kuat ketika anak muda Korsel bersiap memasuki bangku perkuliahan. Bukan hanya orang tua yang sibuk, sekolah pun tak kalah pontang-panting memberikan pelajaran ekstra. Saat ujian berlangsung, penjagaan dilakukan sedemikian rupa agar area ujian benar-benar tenang. Tekanan yang begitu besar itu kadang membuat siswa tidak tahan dan akhirnya memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidup.
"Bunuh diri pada siswa telah menjadi masalah sosial. Dibutuhkan langkah sistematis dan komprehensif untuk mencegahnya," tegas pihak Kementerian Pendidikan.
Alasan umum yang membuat siswa frustasi dan mengakhiri hidupnya adalah adanya masalah di rumah, depresi, serta khawatir masalah karir dan jenjang pendidikan. Biasanya kejadian bunuh diri tinggi saat menjelang ujian masuk perguruan tinggi.
Tak ingin angka kasus bunuh diri tersebut terus naik dan menjadi sorotan, pemerintah akhirnya membuat aplikasi pencegahan bunuh diri yang bisa diaplikasikan di smartphone. Aplikasi itu akan mendeteksi kata-kata yang digunakan siswa di jejaring sosial, via smartphone mereka. Interaksi dengan temannya akan dipantau. Jika berhubungan dengan bunuh diri, aplikasi tersebut langsung memberikan peringatan yang dikirimkan kepada orang tuanya.
"Aplikasi ini telah disetujui anggota kabinet hari ini(kemarin, red). Tapi, kami berharap penerapannya akan menyebar dengan cepat di antara sekolah-sekolah, siswa, dan orang tua secara nasional," ujar pihak kementerian.
Angka kejadian siswa bunuh diri di Korsel memang cukup fantastis. Data di Kementerian Pendidikan Korsel menunjukkan, sepanjang 2009-2014, ada 878 kasus siswa bunuh diri. Pada 2014, angkanya mencapai 118 orang. Tingginya angka bunuh diri tersebut secara tidak langsung mencoreng wajah pemerintah. Terlebih, Korsel juga menjadi negara dengan angka bunuh diri tertinggi dibanding 34 negara anggota Organisasi untuk Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD).
SUMBER : Jawa Pos, 14 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar