Senin, 17 Agustus 2015

HUMANIS : MERDEKA ATAU MUSIK?


 (sumber foto: devianart.com)
Oleh : Erie Setiawan, Musikolog.

Dua kata yang diambil sebagai judul tulisan ini menawarkan dua pilihan yang tidak berhubungan satu sama lain, berbeda dengan "Merdeka atau Mati?", yang jelas tawarannya. Kita hanya disuruh memilih salah satu di antaranya, meskipun mati itu merupakan takdir Ilahi dan parameter merdeka itu juga banyak.
Selama tujuh dekade kemerdekaan Indonesia dalam tujuh kepemimpinan presiden pula, kehidupan musik Indonesia mengalami pasang surut. Dikatakan berhasil, akan banyak buktinya. Dikatakan gagal, juga bukti-buktinya tak terhingga.


Pendidikan, Industri, Budaya.

Taruhlah sekarang kita keranjangkan musik itu dalam tiga pilar: pendidikan, industri, dan budaya. Lalu, kita coba hubungkan dengan kebijakan negara ini selama tujuh kepemimpinan. Mana yang benar-benar didukung besar-besaran oleh negara? Mana yang benar-benar meningkatkan devisa? Mana yang sanggup meningkatkan martabat kita sebagai bangsa?
Contoh lebih konkret lagi, dalam pilar pendidikan dan budaya, mana ada tempat bagi musik untuk anak-anak di televisi-televisi Indonesia yang senyatanya berwatak sangat politis? Secara terbuka dan transparan, negara telah membunuh masa depan anak. Sebab, mereka tidak dikenalkan sejak dini akan dunia mereka dan tiap hari dihadapkan pada tayangan-tayangan dewasa yang tidak mendidik.

Generasi yang hidup pada dekade 1990-an, misalnya, masih sangat beruntung dengan siaran program-program musik anaknya. Kita yang hidup lebih dulu mesti bertanggungjawab terhadap generasi anak-anak masa kini. Jangan membiarkan mereka terbunuh oleh kepentingan ekonomi-politik yang menjauhkan mereka dari nilai-nilai alamiahnya sebagai anak-anak.
Maka, sangat beruntung karena ada beberapa orang yang peduli menciptakan lagu-lagu anak dan menyebarkannya dengan cara mandiri ke pelosok-pelosok negeri. Misalnya, yang dilakukan Agus Hardiman dari Jakarta dan Ike Kusumawati dari Jogjakarta.

Industri musik Indonesia? Bobrok-sebobroknya. Tidak berhasil meningkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Ya! Mana ada lagu-lagu bagus yang muncul sekarang?
Yang ada hanyalah lagu yang mudah diingat dan mudah dilupakan. Pengelolaan strategi kebudayaan yang buruk mengakibatkan selera musik masyarakat Indonesia terkesan rendah karena dihegemoni oleh orang-orang yang tak pernah memahami kekuatan musik.

Pada sebuah perbincangan di dalam mobil, Dwiki Dharmawan, musikus lintas genre, berceloteh bahwa dirinya tak bisa lagi menikmati (kualiatas) musik-musik yang diputar di televisi Indonesia saat ini.


Musik: Antara Kulit dan Sarinya.


Kita memang semakin lebih suka memelihara kulit daripada sarinya, lebih suka yang spektakuler daripada yang sederhana namun dalam. Makin hari, musik makin menjadi sampah, dengan kualitas murah diobral semasif-masifnya. Kita bisa memungutnya kapan saja di sebuah zona bernama internet, gratis-segratisnya. Hilang martabat. Mati tanpa abu.

Dalam berbagai kondisi politis yang membeku, kepemimpinan di segala lini yang masih dipertanyakan keseriusannya, konflik antar suku, kegandrungan akan tontonan-tontonan asing daripada local genius, musik Indonesia pada masa kini sebetulnya makin menemukan bentuknya yang mandiri. Kreativitas yang berwatak plural makin variatif. Hanya, itu semua memang tumbuh di sudut-sudut, bukan dalam lingkungan industri masif.
Sebagaimana merasa perlu menghargai karya-karyanya dengan nilai yang layak dan hasil yang bertanggungjawab. Sebagian lagi mengobral karyanya dengan murah meski kualitasnya bagus.
Sebagian merasa ketiban bledhek, langsung meroket hanya karena YouTube. Sebagian lagi berjuang untuk generasi, selebihnya tak peduli eksistensi.

Begitulah musik. Selama tujuh dekade dalam tujuh kepemimpinan ini, kita melakukan apa di pilar pendidikan, industri, dan budayanya? Pemerintah kita mendukung yang mana?
Sering kali seniman musik merasa gatel karena budaya dianggap pariwisata, lalu roh sejatinya hilang, dan musik tak lebih sebagai produk yang dijual kepada turis, menisbikan sejarah dan nilai-nilai luhur.

Maka, sebetulnya selama tujuh dekade ini, hakikat kemerdekaan kita masih sering dipertanyakan, juga musik kita. Dan memang sejak dulu kita tak pernah mengenal "musik" (sebuah kata yang datang dari Barat: muziek).
Yang kita kenal hanyalah bunyi-bunyi yang disertakan dalam ritual-ritual adat berbagai suku beserta fungsi-fungsi subkulturnya. Musik Indonesia adalah hibrida.

Tetapi, semua sudah terjadi. Diam-diam kita juga merasakan manfaat musik. Sederhana atau kompleks, komersial atau luhur, itu hanyalah buah dari segala sistem yang ada di negara ini dan cara pandang manusia yang terus berubah.
Barangkali musik bisa membantu kita memahami inti kemerdekaan itu sendiri, "kemerdekaan berpikir", yang tak pernah mengenal ulang tahun atau peringatan yang ditandai dengan lomba makan kerupuk.




SUMBER : Jawa Pos, 16 Agustus 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar